Thursday, July 16, 2009

SIKAPPACCEI

Rumah tetangga mulai dijilat api, sore, menjelang kumandang takbir Idul Adha, 2004 lalu. Kompor yang digunakan memasak buras meledak, api dengan cepat menjalar di rumah kayu itu. Suasana panik. Seorang anak perempuan berlari berteriak-teriak meminta pertolongan.

Sembari berlari mendekati rumah terbakar itu, saya mendengar teriakan anak tadi : “angngapa na tena anturungia kodong! Angngapa na tena ammpacceia kodong. Kemai ngasengi tau bure’nea!”. Terjemahan bebasnya, mengapa tidak ada orang yang segera menolong. Mengapa tak seorang pun yang merasa prihatin terhadap saya. Ke mana semua para lelaki!

Bersama beberapa tetangga dan keluarga korban, kami menerobos masuk berusaha menghalau api. Setelah kejadian, saya baru sadar bahwa itu tindakan yang tidak punya perhitungan, sangat berbahaya, akibatnya bisa fatal. Balok dan tiang yang sebagian sudah terbakar sangat rapuh menahan beban rumah itu sehingga bisa saja runtuh. Saya sendiri tidak menyadari mengapa senekat itu. Tetangga yang berkerumun setelah bahu-membahu memadamkan api, saling menceritakan peristiwa itu.

Pemilik rumah, seorang perempuan yang sudah berumur, tampak sekarat di sudut lain. Sebagian tubuhnya tersiram air panas lantaran tanpa berfikir panjang langsung mengangkat kompor yang meledak keluar rumah. Panci panas yang berisi buras tumpah menyirami tubuhnya. Beberapa jam kemudian perempuan itu meninggal dunia. Lagi-lagi anak perempuannya meraung menyayat hati. Saya terngiang-ngiang teriakannya di pinggir jalan, ketika meminta bantuan : AMPACCEI.

***

Siang, awal Juli 2009, di Jalan Pengayoman Makassar, seorang pengendara motor terjatuh masuk ke parit di depan sebuah pusat grosir. Isteri saya yang kebetulan melintas di situ, dua jam kemudian menceritakan peristiwa itu kepada saya.

“Pengendara itu menjadi tontonan – bersama motornya jatuh ke parit. Beberapa orang berhenti, berkerumun, namun tak seorang pun yang berinisiatif membantu. Mereka hanya berdiri di sisi parit, melihat pemilik motor yang bersusah payah mendorong kendaraannya disisi jalan. Pengendara itu berjuang sendiri. Sungguh kasihan.”

“Mungkin mereka tidak menemukan cara bagaimana mengangkat motor itu ke sisi jalan,” tanggap saya.

“Kepedulian sesama memang semakin berkurang. Orang cenderung sibuk memikirkan dirinya sendiri. Kita sudah kehilangan gerak refleks membantu orang lain, terkhusus orang di sekitar. Kita tidak lagi sikappaccei!”.

***

Sikapaccei adalah perasaan terdalam tentang “senasib” dengan orang lain, terutama orang terdekat. Perasaan itu muncul, tak terhalang, sehingga dalam pengungkapannya kadang dilakukan di luar perhitungan. Pokoknya muncul perasaan ingin berkorban dan melakukan apa saja; ikut memikul dan merasakan penderitaan orang lain.

Entah, kata Sikapaccei itu terus mengganggu pikiran saya, terngiang hingga pelaksanaan pemilu presiden usai.

Makassar, 11 Juli 2009
By Nur Alim Djalil

No comments: